![]() |
sumber : www.antaranews.com |
Demo buruh....yak, telat! Tak apa, soalnya baru sempet
#alasan
Beberapa saat yang lalu heboh demo buruh dengan tuntutan
yang tidak masuk akal (menurut saya) tapi mungkin masuk akal banget buat mereka
yang berdemo. Siapa sih yang tidak mau punya gaji gede?? Semua orang pasti mau.
Saya juga mau...banget... :D
3,7 juta sebulan, heloooowww... kata dosen manajemen
keuangan saya lebih tinggi dari gaji PNS golongan 3A. Coba bayangkan, kata
beliau, PNS golongan 3A mensyaratkan pendidikan S1, masuknya pun susah, coba
bayangkan dengan buruh yang lulusan SMA. Yuk mareee... (yang terakhir ini kata
saya :D ).
Ketika topik ini muncul di grup wa temen-temen kuliah, saya
berkomentar “bangkrut aku”. Bagaimana tidak? Ketika level terendah (dalam hal
ini saya mengasumsikannya adalah buruh) gajinya naik dari kira-kira 1 jt
menjadi 3,7. Berarti level yang lebih tinggi juga ikut naik, tidak mungkin
tidak. Ditambah untuk industri padat karya pekerja paling banyak ya di level
buruh ini. Bisa dibayangkan kenaikan beban yang harus ditanggung industri belum
lagi kerugian karena mogok kerja yang dilakukan.
”ï’m out!” kata dosen manajemen organisasi saya. Yup.
Industri di Bekasi, kerawang dan sekitarnya kebanyakan, kalau tidak boleh
dibilang semua, adalah kepunyaan investor asing. Kalau mereka merasa mendirikan
pabrik di Indonesia (jakarta dan sekitarnya) sudah tidak menguntungkan lagi,
kemungkinannya ada 2 yaitu pindah ke daerah lain misalnya Jawa Tengah atau
keluar dari Indonesia. Siapa yang rugi? #senyum (Buruh Mulai Diberi Pilihan Jadi Tenaga Kontrak atau PHK)
Mungkin karena itu pula Jokowi enggan menyetujui tuntutan
buruh sepenuhnya. Bisa dibayangkan berapa pengangguran yang akan terjadi kalau
itu terjadi. Trus APBD didapat dari mana? Pusiiiiiing!!! (kompas)
Pemikiran yang muncul di otak saya adalah: gerakan buruh ini
ditunggangi tidak ya? Ada pihak-pihak yang memanfaatkan ini tidak ya? Saya jadi
ingat pernah melihat politikus PDIP yang artis (kebalik ga ya artis yang
politikus PDIP gitu?) berapi-api mendukung tuntutan buruh beberapa waktu lalu.
Eh bukankah Jokowi juga dari PDIP? Hmmm...
Sebenarnya sih gampang, kalau tidak puas dengan sistem
penggajian di sebuah pekerjaan ya sudah, cabut saja. Cari yang lebih baik,
lebih banyak gajinya. Yang jadi pertanyaan, ada nggak yang mau memberi gaji
sebesar itu dengan kemampuan yang dipunya? #netnooottt
Jadi inget dengan kondisi di lingkungan pekerjaan saya. Di
awal dulu ketika dibuka lowongan sudah ditulis jelas dan terang-terangan bahwa
kami tidak boleh menuntut untuk dijadikan PNS. Tapi semakin ke sini
gerakan-gerakan ke arah sana semakin jelas melalui berbagai macam cara.
Kemudian mengkritisi kebijakan tidak boleh double job. Jelas
ini adalah cara pemberi kerja untuk memproteksi kualitas kinerja kami. Walau
sebenarnya wajar sih ada yang menuntut kenaikan gaji karena kalau untuk keluarga dengan 2 anak dan pemasukan
hanya dari 1 pintu sulit untuk memenuhi kebutuhan yang kian melambung
tinggi. Tapi kalo mau sedikit mencermati
double job masih boleh kok tapi dengan syarat-syarat tertentu yang saya pikir
wajar.
Ilustrasinya begini, kalau saya punya tenaga marketing yang
sudah saya gaji full time 2jt kemudian tenaga marketing tersebut juga bekerja
di perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama sebagai marketing juga
untuk menambah pemasukan. Kira-kira saya rela nggak ya? Hmmm...
Entah kenapa kedua kondisi ini menurut saya mirip. Ketidakpuasan
yang disebabkan oleh kurang seimbangnya pemikiran atau pertimbangan atau sisi
pandang masing-masing pihak, baik pekerja maupun pemberi kerja, atau bisa
juga miss komunikasi antara pekerja dan
perusahaan mengenai keuntungan dan kerugian yang didapat oleh perusahaan
sehingga terjadi miss persepsi pekerja mengenai kemampuan perusahaan mengupah
mereka seperti yang disebutkan Jokowi di Kompas.
Atau bisa juga karena memang terjadi kesenjangan gaji dan
tunjangan antara level terendah dan tertinggi di Indonesia. Hal ini bukan tidak
mungkin terjadi di Indonesia. Berapa sih perbandingan antara gaji terendah
dalam perusahaan dengan gaji gaji tertinggi. Misalnya, gaji terendahnya 500.000
(angka ngawur) sedangkan gaji tertingginya adalah 50 juta (ngawur banget).
Perbandingan antara yang terendah dan yang tertinggi adalah 100 kali lipat. Perbandingan
ini bisa digunakan untuk melihat kesenjangan yang terjadi.
Kalau gaji 500.000 sehari-hari cuma bisa makan tempe yang
harganya 300 rupiah perbiji (di jogja) so gaji tertinggi bisa makan lauk yang
harganya 30.000 per biji. Hmmm..
Membaca di The Guardian serikat buruh disana juga menyoroti bahwa di Amerika pada tahun 1970an gaji tertinggi adalah 30 atau 40 kali gaji rata-rata orang Amerika. Tahun 2010 (saat artikel tersebut dibuat) gaji tertinggi adalah 319 kali gaji rata-rata tanpa adanya peningkatan kemampuan relatif dengan penerima gaji tertinggi tahun 70an (bagaimana dengan di Indonesia?). buset dah... dan kondisi ini lah yang ingin mereka perbaiki dengan mengajukan peraturan baru mengenai pembatasan gaji maksimal dalam perusahaan mengacu pada gaji rata-rata atau terendahnya.
Kalau Indonesia juga menganut sistem tersebut bagaimana ya?
Kalau Indonesia juga menganut sistem tersebut bagaimana ya?
No comments:
Post a Comment